Entri Populer

Minggu, 18 Desember 2011

cara menyingkapi kritikan

Kritik Anda adalah Kue Anda
Ditulis oleh: Anne Ahira untuk Desi
Desi,

"Anda tidak berhak dipuji kalau tidak
bisa menerima kritikan."

                   -- Halle Berry, 2005

Itulah kalimat dahsyat yang disampaikan
Halle Berry, artis peraih Oscar melalui
film James Bond 'Die Another Day' di
tahun 2004 ketika mendapat piala Razzie
Award.

Razzie Award adalah penghargaan yang
diberikan kepada mereka yang dinilai
aktingnya buruk. Label pemain terburuk
ini didapatkan Halle setelah memainkan
perannya di film 'Cat Woman'.

Ia adalah orang yang pertama kali
langsung datang ke tempat pemberian
penghargaan tersebut.

Tidak ada Aktor dan Artis lain
sebelumnya yang sanggup datang dan
hanya menyampaikan pesannya melalui
video.

Sambutannya sungguh menarik : "Saya
menerima penghargaan ini dengan tulus.
Saya menganggap ini sebagai kritik
bagi saya untuk tampil lebih baik di
film-film saya berikutnya. Saya masih
ingat pesan ibu saya bahwa... 'Kamu
tidak berhak dipuji kalau kamu tidak
bisa menerima kritikan'."


Tepukan tangan sambil berdiri sebagai
bentuk ketakjuban dari para hadirin
sangat memeriahkan malam itu. Ya,
sangat sedikit orang yang sanggup
menerima kritikan seperti Halle.

Nah, sekarang, apa arti kritik bagi
Desi? Apakah itu musibah buruk?
Seperti bencana yang tidak terduga,
atau... simbol kehancuran diri? Adakah
yang bisa menganggap kritik layaknya ia
menerima pujian?

Kritik memiliki banyak bentuk...

Kritik bisa berupa nasehat, obrolan,
sindiran, guyonan, hingga cacian pedas.
Wajar saja jika setiap orang tidak suka
akan kritik.

Bagaimanapun, akan lebih menyenangkan
jika kita berlaku dan tampil sempurna,
memuaskan semua orang dan mendapatkan
pujian.

Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa
kita bisa aman dari kritik? Tokh kita
hanyalah manusia dengan segala
keterbatasannya. Dan nyatanya, di dunia
ini lebih banyak orang yang suka
mengkritik, daripada dikritik. :-)

Kalau Desi suka sepak bola, pasti
sering mengamati para komentator dalam
mengeluarkan pernyataan pedasnya.

Padahal belum tentu kepandaian mereka
dalam mengkritik orang lain sebanding
dengan kemampuannya jika disuruh
memainkan bola sendiri di lapangan. ;-)

Belum lagi para pakar dan pengamat
politik, ekonomi, maupun sosial. Mereka
ramai-ramai berkomentar kepada publik,
seolah pernyataan merekalah yang paling
benar. :-)

Namun bukan itu permasalahannya!

Pertanyaannya sekarang adalah...
seandainya Desi mendapatkan kritikan,
yang sakitnya melebihi tamparan, apa
yang harus Desi lakukan?

Jawabannya adalah...

=> Nikmatilah setiap kritikan layaknya
      kue kegemaran kita!

Mungkinkah? Mengapa tidak! :-)

Kita mempunyai wewenang penuh untuk
mengontrol perasaan kita.

Berikut tips untuk Desi saat menghadapi
kritik:

1. Ubah Paradigma Desi Terhadap Kritik

Desi, tidak sedikit orang yang jatuh
hanya gara-gara kritik, meski tidak
semua kritik itu benar dan perlu
ditanggapi. Padahal, kritik menunjukkan
adanya yang *masih peduli* kepada kita.

Coba perhatikan perusahaan-perusahaan
besar yang harus mengirimkan berbagai
survey untuk mengetahui kelemahannya.

Bayangkan jika Desi harus melakukan
hal yang sama, mengeluarkan banyak uang
hanya untuk mengetahui kekurangan
Desi! LoL. :-)

Kritik merupakan kesempatan untuk
koreksi diri. Tentu saja akan
menyenangkan jika mengetahui secara
langsung kekurangan kita, daripada
sekedar menerima dampaknya, seperti
dikucilkan misalnya.

2. Cari tahu sudut pandang si pengkritik

Tidak ada salahnya mencari tahu detil
kritik yang disampaikan. Desi bisa
belajar dari mereka dan melakukan
koreksi terhadap diri Desi. Bisa jadi
kritik yang disampaikan benar adanya.

Jika perlu, justru carilah orang yang
mau memberikan kritik sekaligus saran
kepada Desi. Tokh Desi tidak akan
menjadi rendah dengan hal itu.

Justru sebaliknya, pendapat orang bisa
jadi membuka persepsi, wawasan, maupun
paradigma baru yang mendukung goal
Desi.

3. Kritik tidak perlu dibalas dengan kritik!

Tanggapi kritik dengan bijak. Desi
tidak perlu merasa marah atau
memasukkannya ke dalam hati. Toh
menyampaikan pendapat adalah hak semua
orang.

Nikmatilah apapun yang mereka
sampaikan. Tidak ada ruginya untuk
ringan dalam mema'afkan seseorang.
Anggaplah semua itu untuk perbaikan
yang menguntungkan Desi kelak.

Jangan pernah Desi balas kritik dengan
kritik. Karena hal ini hanya akan
membuat perdebatan, menguras tenaga &
pikiran. Tidak ada gunanya...

4. Terimalah kritikan dengan senyuman. ^_^

Ini semua bisa melatih mental kita agar
bisa *tegar* menghadapi ujian yang
lebih hebat di kemudian hari.

Singkatnya, kita memang hanya layak
dipuji jika sudah berani menerima
kritikan. Meski tidak mudah, asah terus
keberanian Desi untuk menikmati kritik
layaknya menikmati kue Desi.

Ingat, pujian dan apresiasi hanya akan
datang apabila kita sudah melakukan
sesuatu yang berharga.

So, jangan pernah bosan untuk memburu
kritik, dan tanggapilah setiap kritik dengan
lapang dada! :-)



*********** Resource Box ****************

Saat Anda perlu Domain & Hosting
Anda akan selalu ingat:
http://www.AsianBrainHosting.com :-)

****************************************

Renungan Hati

http://massofa.wordpress.com/
Hargai Apa Yang Kita Miliki

Ditulis oleh: Anne Ahira

Desi,

Pernahkah Desi mendengar kisah Helen Kehler?
Dia adalah seorang perempuan yang dilahirkan
dalam kondisi buta dan tuli.

Karena cacat yang dialaminya, dia tidak bisa
membaca, melihat, dan mendengar. Nah, dlm
kondisi seperti itulah Helen Kehler dilahirkan.

Tidak ada seorangpun yang menginginkan
lahir dalam kondisi seperti itu. Seandainya
Helen Kehler diberi pilihan, pasti dia akan
memilih untuk lahir dalam keadaan normal.

Namun siapa sangka, dengan segala
kekurangannya, dia memiliki semangat hidup
yang luar biasa, dan tumbuh menjadi seorang
legendaris.

Dengan segala keterbatasannya, ia mampu
memberikan motivasi dan semangat hidup
kepada mereka yang memiliki keterbatasan
pula, seperti cacat, buta dan tuli.

Ia mengharapkan, semua orang cacat seperti
dirinya mampu menjalani kehidupan seperti
manusia normal lainnya, meski itu teramat sulit
dilakukan.

Ada sebuah kalimat fantastis yang pernah
diucapkan Helen Kehler:

    "It would be a blessing if each person
     could be blind and deaf for a few days
     during his grown-up live. It would make
     them see and appreciate their ability to
     experience the joy of sound".


Intinya, menurut dia merupakan sebuah anugrah
bila setiap org yang sudah menginjak dewasa
itu mengalami buta dan tuli beberapa hari saja.

Dengan demikian, setiap orang akan lebih
menghargai hidupnya, paling tidak saat
mendengar suara!

Sekarang, coba Desi bayangkan sejenak....

......Desi menjadi seorang yang buta
dan tuli selama dua atau tiga hari saja!

Tutup mata dan telinga selama rentang waktu
tersebut. Jangan biarkan diri Desi melihat
atau mendengar apapun.

Selama beberapa hari itu Desi tidak bisa
melihat indahnya dunia, Desi tidak bisa
melihat terangnya matahari, birunya langit, dan
bahkan Desi tidak bisa menikmati musik/radio
dan acara tv kesayangan!

Bagaimana Desi? Apakah beberapa hari cukup berat?
Bagaimana kalau dikurangi dua atau tiga jam saja?

Saya yakin hal ini akan mengingatkan siapa saja,
bahwa betapa sering kita terlupa untuk bersyukur
atas apa yang kita miliki. Kesempurnaan yang ada
dalam diri kita!

Seringkali yang terjadi dalam hidup kita adalah
keluhan demi keluhan.... Hingga tidak pernah
menghargai apa yang sudah kita miliki.

Padahal bisa jadi, apa yang kita miliki merupakan
kemewahan yang tidak pernah bisa dinikmati
oleh orang lain.  Ya! Kemewahan utk orang lain!

Coba Desi renungkan, bagaimana orang yang
tidak memiliki kaki? Maka berjalan adalah sebuah
kemewahan yang luar biasa baginya.

Helen Kehler pernah mengatakan, seandainya ia
diijinkan bisa melihat satu hari saja, maka ia yakin
akan mampu melakukan banyak hal, termasuk
membuat sebuah tulisan yang menarik.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran, jika kita
mampu menghargai apa yang kita miliki, hal-hal
yang sudah ada dalam diri kita, tentunya kita akan
bisa memandang hidup dengan lebih baik.

Kita akan jarang mengeluh dan jarang merasa susah!
Malah sebaliknya, kita akan mampu berpikir positif
dan menjadi seorang manusia yang lebih baik


************** Resource Box ***************

Asian Brain Newsletter - Think & Succeed!
Kontribusi Anne Ahira & PT. Asian Brain IMC
untuk menggali dan melejitkan potensi
masyarakat Indonesia!


Berteman dengan Anne Ahira melalui Facebook:
http://www.facebook.com/pages/Anne-Ahira-Asian-Brain/156735887976

Belajar menjalankan bisnis di rumah bersama Anne Ahira:
http://www.AsianBrain.com

*********************************************

Jumat, 16 Desember 2011

Penulisan kalimat.

http://warnibloggersgirls.blogspot.com/
Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang dinamis dan mampu untuk menyerap setiap kata-kata asing. Salah satu perbedaan lingustik antara Bahasa Indonesia dan bahasa asing adalah penulisan/pengucapan bentuk jamak yang penulisan diulang dari penulisan kata itu sendiri. Contoh kata majemuk seperti kata-kata, rumah-rumah, dan lain-lain. Namun, tidak semua kata-kata asing terutama dalam kelompok bahasa teknik yang dapat dilakukan perulangan seperti bentuk jamak lainnya. Tulisan ini membahas mengenai bentuk baku penulisan kalimat dalam bentuk tunggal ataupun jamak sesuai dengan pengejaan standar Bahasa Indonesia yang telah disempurnakan (EYD).

Bentuk Tunggal dan Jamak dalam Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mengklasifikasikan 5 jenis penggunaan bentuk tunggal dan jamak ke dalam penulisan ataupun pengucapan. Adapun kelima jenis penggunaan tersebut adalah:

1. Jenis Kelamin
Penggunaan bentuk kalimat tunggal ataupun jamak untuk menyatakan jenis kelamin dapat kita lihat berikut ini:
Bahasa Inggris (tunggal) -> boy, girl, man, male, woman, female, lady, gentleman
Bahasa Inggris (jamak) -> boys, girls, men, males, women, females, ladies, gentlemen
Bahasa Indonesia tidak menggunakan penataan bahasa seperti pada bahasa Inggris di atas dalam menyatakan bentuk tunggal ataupun jamak ke dalam penggunaan jenis kelamin. Contoh:
Bahasa Indonesia (tunggal) -> perempuan, pria, wanita, nyonya, tuan
Bahasa Indonesia (jamak) -> perempuan-perempuan, pria-pria, wanita-wanita, nyonya-nyonya, tuan-tuan
Bahasa Indonesia juga menyerap beberapa kata serupa dari bahasa lain seperti Bahasa Arab dan Bahasa Sanskerta. Contoh:
Bahasa Arab -> muslimin, muslimat, mukminin, mukminat, hadirin, hadirat
Bahasa Sanskerta -> siswa, siswi, putera, puteri, dewa, dewi
Kedua sumber penyerapan bahasa tadi tidak dapat diterapkan ke dalam bentuk jamak dengan menggunakan pengejaan Bahasa Indonesia baku. Misalnya, untuk menyatakan bentuk jamak dari muslimin -> muslimin-muslimin, bentuk jamak dari siswa -> siswa-siswa. Pembentukan jamak seperti ini menyalahi aturan baku Bahasa Indonesia. Penulisan yang baku adalah dengan menambahkan kata depan seperti ‘para’ sehingga terbetuk: muslimin -> para muslimin, dewa -> para dewa, dan seterusnya.

2. Tidak Mengalami Perubahan Bentuk
Pembentukan kata dalam bentuk jamak dalam Bahasa Indonesia tidak mengalami perubahan bentuk. Inilah yang membedakan Bahasa Indonesia dengan bahasa-bahasa asing lainnya. Contoh:
Bahasa Inggris (jamak) -> boys, girls, men, women, ladies, gentlemen
Bahasa Indonesia (jamak), pria-pria, wanita-wanita, anak-anak
Tidak ada perubahan bentuk kata dari kata dasarnya, akan tetapi mengalami pengulangan kata.

3. Bentuk Jamak Untuk Waktu
Pada prinsipnya, Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk dari kata dasarnya untuk menunjukkan bentuk jamak dari waktu. Misalnya:
Bahasa Inggris (tunggal) -> day, week, month, year, century
Bahasa Inggris (jamak) -> days, weeks, months, years, centuries
Dalam kaidah Bahasa Indonesia yang baku, penulisannya adalah:
Bahasa Indonesia (tunggal) -> hari, minggu, bulan, tahun, abad
Bentuk jamaknya tidak sekedar hanya dengan pengulangan dari kata dasarnya, akan tetapi disesuaikan dengan pokok pikiran dari penulisan kalimat. Misalnya, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, berabad-abad.

4. Penggunaan Istilah Teknis/Ilmu Pengetahuan
Pada prinsipnya, kata dasar yang bukan berasal dari Bahasa Indonesia tidak boleh dibentuk perulangan untuk menyatakan bentuk jamak. Seluruh kata yang termasuk dalam kelompok pengetahuan seperti kelompok bahasa teknik ataupun istilah dalam ilmu pengetahuan adalah kelompok kata-kata asing. Sering dijumpai pengulangan kata yang menyatakan bentuk jamak tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baku. Contoh:
Data -> data-data
Dalam Kamus Oxford, data termasuk kata benda yang menyatakan lebih dari 1 benda. Ini berarti kata ‘data’ adalah bentuk jamak. Dalam penulisan tata bahasa Inggris tidak dikenal bentuk jamak dari data. Artinya, bentuk jamak dari data dalam bahasa Inggris pun tidak mengalami perubahan bentuk seperti kata benda lainnya. Penulisan data dalam Bahasa Indonesia baku pun sudah menunjukkan bentuk jamak sehingga tidak dilakukan pengulangan.
Istilah lain seperti ‘File’ adalah bentuk tunggal. Bentuk jamak dalam Bahasa Inggris adalah ‘Files’. Dalam Bahasa Indonesia, File diterjemahkan sebagai ‘Arsip’. Penulisan kata ‘File’ masih diperbolehkan sekalipun bukan merupakan bentuk bakunya. Sekalipun demikian, apabila penulisannya menggunakan kaidah Bahasa Indonesia, maka bentuk jamak dari ‘File’ tidak boleh dituliskan ‘Files’, akan tetapi bisa digunakan kata depan seperti beberapa, setiap, semua, dan seluruh.

Psikolinguistik

Psikolinguistik

Batasan Linguistik

Psikolinguistik adalah sebuah istilah ilmu bahasa yang terdiri atas gabungan du buah kata, yaitu kata psikologi dan linguistik yang masing-masing merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Psikologi mengkaji proses akal atau proses pikiran sesorang dan mengatur perilakunya. Proses akal atau proses pikiran seseorang itu biasanya menggunakan bahasa, karena bahasa merupakan suatu syarat untuk dapat berpikir. Dengan kata lain, bhwa proses akal atau proses akal atau proses pikiran seseorang itu tergantung pada bahasanya, artinya struktur bahasanyalah yang menentukan proses akal atau struktur pikiran seseorang itu. (Teori Wilhelm von Humboldt, 1838, dan Sapir-Whorf, 1949) meskipun ada pula yang berpendirian sebaliknya, justru proses akal atau proses pikiran itulah yang menentukan aspek-aspek kebahasaan seseorang (Teori Pertumbuhan Kognisi Jean Piaget, 1962). Jean Piaget mengatakan bahwa struktur pikiran seseorang dibentuk oleh aksi atau perilaku kanak-kanak dan bukan oleh struktur bahasa, artinya struktur pikiran mendahului kebolehan-kebolehan yang dipakai kemudian untuk berbahasa.
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Suriasumantri, 1998).
Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikir dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia (Schlenker, 2004). Menurut hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental orang Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda.
Hubungan antara bahasa dan pikiran adalah sebuah tema yang sangat menantang dalam dunia kajian psikologi. Sejarah kajian ini dapat ditilik dari psikolog kognitif, filosof dan ahli linguistik. Hipotesis Whorf dan Sapir menyajikan sesuatu yang sangat menantang untuk ditelaah lebih lanjut. Beberapa aspek bahasan yang mempengaruhi pikiran perlu diidentifikasi lebih lanjut, misalnya identifikasi aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran ruang bidang (reasoning spatial) dan aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran terhadap pikiran lain (reasoning about other minds).
Konsep Sapir dan Whorf mengudang beberapa keberatan di kalangan ahli bahasa dan peneliti psikolinguistik. Dasar yang dipakai sebagai bentuk keberatan tersebut adalah bahwa pikiran yang sama dapat diekspresikan dalam beberapa cara. Manusia dapat mengatakan apa saja yang dimauinya dalam sebuah bahasa sehingga antara satu bahasa dengan bahasa lainnya memiliki karakter yang paralel. Salah satu fakta yang dipaparkan untuk menunjukkan keberatan ini adalah dalam bidang perkembangan. Beberapa kasus di kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa bayi yang belum memiliki bahasa secara optimal sudah mampu menalar lebih dari hal-hal yang menarik bagi mereka. Misalnya usia 3-4 bulan bayi dapat memahami jarak dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan jarak. Usia 5 bulan bayi sudah mampu menalar aritmatika sederhana. Setelah sebelumnya bayi diperlihatkan dua buah objek di tangan, mereka mencoba mencari dua objek tersebut ketika dua objek tersebut disembunyikan. Manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, tetapi bahasa mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecakan persoalan dan menarik kesimpulan. Bahasa memungkinkan individu menyandi peristiwa dan objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa individu mampu mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya pada orang lain karena bahasa merupakan sistem lambang yang tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala pemikiran.
Keterkaitan antara bahasa dan pikiran dimungkinkan karena berpikir adalah upaya untuk mengasosiasikan kata atau konsep untuk mendapatkan satu kesimpulan melalui media bahasa. Bahasa dan pikiran memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi (resiprokal). Variabel berupa domain-domain kognitif dapat dipertimbangkan sebagai pendahulu perkembangan struktur bahasa pada awal tahap perkembangan anak. Namun demikian, ada proses tahapan produksi bahasa (production of language) mungkin lepas atau tidak tergantung pada domain kognitif yang lain. Sebagai bukti misalnya, beberapa individu yang memiliki gangguan keterbatasan bahasa memiliki anterior aphasics di dalam otaknya dengan performansi yang optimal.


Gangguan dalam Berbahasa
A. Developmental language disorders (ganguan perkembangan berbahasa)
1. Hanya mengalami gangguan ekspresif dengan pemahaman normal dengan sedikit atau tanpa komorbiditas – gangguan lain yang menyertainya.

2.Gangguan campuran antara perkembangan bahasa ekspresif dan reseptif. Seringkali terjadi adanya deskrepansi (perbedaan) yang bermakna antara skor tes verbal IQ dengan performal (non-verbal) IQ, dimana skor verbal IQ mencapai skor yang sangat rendah. Atau non-verbal IQ mencapai skor lebih tinggi daripada tes pemahaman bahasa. Pemahaman bahasa lebih rendah daripada rata-rata anak seusianya, artinya ada gangguan perkembangan bahasa reseptif (receptive dysphasia).
1 dan 2 di atas dapat terjadi pada anak yang mengalami gangguan perkembangan bahasa dan bicara.
B. Gangguan bahasa reseptif: diluar definisi dysphasia development, karena pemahaman bahasa lebih jelek daripada bahasa ekspresif.

1.Kemampuan reseptif dan ekspresif sangat rendah (delay atau tertinggal); seringkali diikuti dengan gangguan nonverbal (mengalami juga keterbelakangan mental). Dalam bentuk yang parah didapatkan asymbolic mental retardation atau “mute autistic”. Pemahaman bahasa dan bicara sama sekali tak nampak.

2.Verbal-auditory agnosia atau congenital word deafness (bentuk ringan dari phonologic perception problem)

3.Cortical deafness, total auditory agnosia (congenital auditory imperception).

4.Gangguan sensorik pendengaran yang parah.
C. Gangguan semantik-pragmatik
Gangguan bahasa Semantik (pengertian) – pragmatik (penggunaan) sering dimulai dengan bahasa dengan echolalia yang banyak.
D. Gangguan kelancaran bicara, atau gagap.
E. Mutisme selektif (tidak mau bicara dalam situasi atau tempat tertentu)
F. Miskin bahasa karena kurang stimulasi
G. Gangguan artikulasi dan gangguan perkembangan bahasa dan bicara, sering disebabkan karena masalah seperti dalam pembagian 1 & 2
Gangguan perkembangan bicara dan bahasa karena sebab-sebab lain:
1. Child-afasia (disebabkan karena traumatic, tumor, infeksi)
2. Landau-Kleffner-syndrom
3. Kemunduran perkembangan bahasa dan bicara dengan penyebab tak diketahui dengan atau tanpa epilepsi saat tidur dan gangguan nosologi yang tak diketahui penyebabnya, sering juga terjadi pada Autisme Spectrum Disorder (ASD).
Sebuah Ilustrasi mengatakan bahwa Stroke Penyebab Gangguan Bahasa Pasca serangan stroke selain meninggalkan kecacatan berupa kelumpuhan juga meninggalkan gangguan berbahasa atau yang dikenal dengan sebutan Afasia. Meskipun gangguan afasia yang dialami pasien stroke hanya sekitar 15 %, namun sangat mengganggu karena mereka akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan individu lain.
Pasca serangan stroke selain meninggalkan kecacatan berupa kelumpuhan juga meninggalkan gangguan berbahasa atau yang dikenal dengan sebutan Afasia. Meskipun gangguan afasia yang dialami pasien stroke hanya sekitar 15 %, namun sangat mengganggu karena mereka akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan individu lain. Menurut dr Silvia Francina Lumempou SpS dari Sub Bagian Fungsi luhur Bagian Neurologi FKUI/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, afasia muncul karena gangguan di bagian-bagian otak yang bertugas memahami bahasa lisan dan tulisan, mengeluarkan isi pikiran, mengintegrasikan fungsi pemahaman bahasa dan mengeluarkannya, serta mengintegrasikan pusat fungsi barbahasa ini dengan lainnya.
Umumnya afasia muncul bila otak kiri terganggu. Soalnya, otak kiri bagian depan berperan untuk kelancaran menuturkan isi pikiran dalam bahasa dengan baik, dan otak kiri bagian belakang untuk mengerti bahasa yang didengar dari lawan bicara. Namun ada beberapa laporan yang menyatakan gangguan ini dapat terjadi di belahan otak kanan, meski kasusnya sangat jarang, paparnya.
Pemerolehan Bahasa
Terdapat beberapa teori mengenai perolehan bahasa pada bayi dan balita yang bersumber pada perkembangan psikologi yang bersifat natur dan nurtur. Natur adalah aliran yang meyakini bahwa kemampuan manusia adalah bawaan sejak lahir. Oleh karena itu manusia telah dilengkapi secara biologis oleh alam (natur) untuk memproduksi bahasa melalui alat-alat bicara (lidah, bibir, gigi, rongga tenggorokan, dibantu oleh alat pendengaran) maupun untuk memahami arti dari bahasa tersebut (melalui skema pada kognisi). Noam Chomsky adalah tokoh yang mempercayai peran natur secara radikal dalam perolehan bahasa. Pihak yang mempercayai kekuatan nurtur dalam perolehan bahasa berargumen bahwa bayi dan balita memperoleh bahasa karena terbiasa pada bahasa ibu. Hal ini terbukti pada pembentukan kemampuan fonem yang tergantung pada bahasa ibu. Misalkan pada bayi Jepang pada usia dibawah 6 bulan masih dapat membedakan fonem ra dan la dengan jelas, namun pada usia satu tahun mereka kesulitan untuk membedakan fonem ra dan la.Michael Tomasello mengkritik Chomsky bahwa bahasa tidak akan muncul begitu saja. Ia meyakini bahwa bahasa diperoleh karena bayi belajar menggunakan bahasa sebagai simbol terlebih dahulu dengan kemampuan bayi untuk melakukan atensi bersama (Join attention) pada saat sebelum bayi mampu memproduksi bahasa. Pada dasarnya natur dan nurtur memiliki kontribusi terhadap perolehan bahasa pada bayi. Menurut Kiparsky sebagaimana dikutip oleh H.G. tarigan (1985:243) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu proses yang digunakan oleh kanak-kanak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang semakin bertambah rumit ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai dirinya dapat memilih berdasarkan suatu ukuran atau takaran penilaian tata bahasa yang paling baik dan paling sederhana dari bahasa tersebut.

Pemerolehan Bahasa Pertama
Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Dalam melangsungkan upaya memperoleh bahasa, anak dibimbing oleh prinsip atau falsafah ‘jadilah orang lain dengan sedikit perbedaan’, ataupun ‘dapatkan atau perolehlah suatu identitas sosial dan di dalamnya, dan kembangkan identitas pribadi Anda sendiri’. Sejak dini bayi telah berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya. Seorang ibu seringkali memberi kesempatan kepada bayi untuk ikut dalam komunikasi sosial dengannya. Kala itulah bayi pertama kali mengenal sosialisasi, bahwa dunia ini adalah tempat orang saling berbagi rasa.
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167)
Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer 2003:167).
Selanjutnya, Chomsky juga beranggapan bahwa pemakai bahasa mengerti struktur dari bahasanya yang membuat dia dapat mengkreasi kalimat-kalimat baru yang tidak terhitung jumlahnya dan membuat dia mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi, kompetensi adalah pengetahuan intuitif yang dipunyai seorang individu mengenai bahasa ibunya (native languange). Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada, tetapi dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya, sedangkan performansi adalah sesuatu yang dihasilkan oleh kompetensi.
Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi si anak dalam memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang sama dalam memperoleh bahsa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini, Dardjowidjojo, (2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa pertamanya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input sekitarnya.
Tahap Satu-Kata atau Holofrastis
Tahap ini berlangsung ketika anak berusia antara 12 dan 18 bulan. Ujaran-ujaran yang mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang untuk makna yang sama. pada usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini disebut tahap satu kata satu frase atau kalimat, yang berarti bahwa satu kata yang diucapkan anak itu merupakan satu konsep yang lengkap, misalnya “mam” (Saya minta makan); “pa” (Saya mau papa ada di sini), “Ma” (Saya mau mama ada di sini). Mula-mula, kata-kata itu diucapkan anak itu kalau rangsangan ada di situ, tetapi sesudah lebih dari satu tahun, “pa” berarti juga “Di mana papa?” dan “Ma” dapat juga berarti “Gambar seorang wanita di majalah itu adalah mama”. Menurut pendapat beberapa peneliti bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini mempunyai tiga fungsi, yaitu kata-kata itu dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri atau suatu keinginan untuk suatu perilaku, untuk mengungkapkan suatu perasaan, untuk memberi nama kepada suatu benda. Dalam bentuknya, kata-kata yang diucapkan itu terdiri dari konsonan-konsonan yang mudah dilafalkan seperti m,p,s,k dan vokal-vokal seperti a,i,u,e.
Tahap Dua-Kata, Satu Frase
Tahap ini berlangsung ketika anak berusia 18-20 bulan. Ujaran-ujaran yang terdiri atas dua kata mulai muncul seperti mama mam dan papa ikut. Kalau pada tahap holofrastis ujaran yang diucapkan si anak belum tentu dapat ditentukan makna, pada tahap dua kata ini, ujaran si anak harus ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Pada tahap ini pula anak sudah mulai berpikir secara “subjek + predikat” meskipun hubungan-hubungan seperti infleksi, kata ganti orang dan jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak itu, subjek + predikat dapat terdiri atas kata benda + kata benda, seperti “Ani mainan” yang berarti “Ani sedang bermain dengan mainan” atau kata sifat + kata benda, seperti “kotor patu” yang artinya “Sepatu ini kotor” dan sebagainya.
Ujaran Telegrafis
Pada usia 2 dan 3 tahun, anak mulai menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word utterances) atau disebut juga ujaran telegrafis. Anak juga sudah mampu membentuk kalimat dan mengurutkan bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata anak berkembang dengan pesat mencapai beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip dengan bahasa orang dewasa. Contoh dalam tahap ini diberikan oleh Fromkin dan Rodman. Pada usia dini dan seterusnya, seorang anak belajar B1-nya secara bertahap dengan caranya sendiri. Ada teori yang mengatakan bahwa seorang anak dari usia dini belajar bahasa dengan cara menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman (1993:403) menyebutkan hasil peniruan yang dilakukan oleh si anak tidak akan sama seperti yang diinginkan oleh orang dewasa. Jika orang dewasa meminta sang anak untuk menyebutkan “He’s going out”, si anak akan melafalkan dengan “He go out”. Ada lagi teori yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara penguatan (reinforcement), artinya kalau seorang anak belajar ujaran-ujaran yang benar, ia mendapat penguatan dalam bentuk pujian, misalnya bagus, pandai, dsb. Akan tetapi, jika ujaran-ujarannya salah, ia mendapat “penguatan negatif”, misalnya lagi, salah, tidak baik. Pandangan ini berasumsi bahwa anak itu harus terus menerus diperbaiki bahasanya kalau salah dan dipuji jika ujarannya itu benar. Teori ini tampaknya belum dapat diterima seratus persen oleh para ahli psikologi dan ahli psikolinguistik. Yang benar ialah seorang anak membentuk aturan-aturan dan menyusun tata bahasa sendiri. Tidak semua anak menunjukkan kemajuan-kemajuan yang sama meskipun semuanya menunjukkan kemajuan-kemajuan yang reguler.

Teori-teori tentang Pemerolehan Bahasa Pertama

1.1 Teori Behaviorisme

Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar bahasa pertamanya. Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan bilangkali untuk barangkali. Sudah pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata tersebut. Apabila sutu ketika si anak mengucapkan barangkali dengan tepat, dia tidak mendapat kritikan karena pengucapannya sudah benar. Situasi seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.
B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Dia menulis buku Verbal Behavior (1957) yang digunakan sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini. Menurut aliran ini, belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu organisme. Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement yang cocok, perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar. Namun demikian, banyak kritikan terhadap aliran ini. Chomsky mengatakan bahwa toeri yang berlandaskan conditioning dan reinforcement tidak bisa menjelaskan kalimat-kalimat baru yang diucapkan untuk pertama kali dan inilah yang kita kerjakan tiap hari. Bower dan Hilgard juga menentang aliran ini dengan mengatakan bahwa penelitian mutakhir tidak mendukung aliran ini. Aliran behaviorisme mengatakan bahwa semua ilmu dapat disederhanakan menjadi hubungan stimulus-response. Hal tersebut tidaklah benar karena tidak semua perilaku berasal dari stimulus-response.

1.2 Teori Nativisme

Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa. Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga mustahil dapat dikuasai dalam waktu yang singkat melalui “peniruan”. Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat LAD). Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Amerika sudah pasti bahasa Inggris menjadi bahasa pertamanya.

Semua anak yang normal dapat belajar bahasa apa saja yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini tidak memperoleh bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak mendapat “makanan” sebagaimana biasanya sehingga alat ini tidak bisa mendapat bahasa pertama sebagaimana lazimnya seperti anak yang dipelihara oleh srigala .Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan bunyi bahasa.


1.3 Teori Kognitivisme

Menurut teori ini, bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa (Chaer, 2003:223). Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus diperoleh secara alamiah. Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui indranya. Anak hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.

1.4 Teori Interaksionisme

Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan adanya interaksi antara masukan “input” dan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu secara otomatis. Sebenarnya, menurut hemat penulis, faktor intern dan ekstern dalam pemerolehan bahasa pertama oleh sang anak sangat mempengaruhi. Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai penemuan seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia mengatakan bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah satu kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan berbahasa. Akan tetapi, yang tidak dapat dilupakan adalah lingkungan juga faktor yang memperngaruhi kemampuan berbahasa si anak. Banyak penemuan yang telah membuktikan hal ini.

Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasa mempunyai dua cara yang, berbeda berdikari, dan mandiri mengenai pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Pertama, pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak. Mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi. Kedua, untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi ada hipotesis pemerolehan belajar yang menuntut bahwa orang-orang dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuan memungut bahasa bahasa tidaklah hilang pada masa puber. Orang-orang dewasa juga dapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat pada orang dewasa. Pemerolehan dan pembelajaran dapat dibedakan dalam lima hal, yaitu pemerolehan:
1. memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama, seorang anak penutur asli, sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal,
2. secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja.
3. bahasa kedua seperti memungut bahasa kedua, sedangkan pembelajaran mengetahui bahasa kedua,
4. mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapat pengetahuan secara eksplisit,
5. pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaran menolong sekali.
Pandangan pemerolehan bahasa secara alami yang merupakan pandangan kaum nativistis yang diwakili oleh Noam Chomsky, berpendapat bahwa bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia. Perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunkan. Hakikatnya, pola perkembangan bahasa pada berbagai macam bahasa dan budaya. Lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam pemerolehan bahasa. Anak sudah dibekali apa yang disebut peranti penguasaan bahasa (LAD). Pandangan pemerolehan bahasa secara disuapi adalah pandangan kaum behavioristis yang diwakili oleh B.F. Skinner dan menganggap bahasa sebagai suatu yang kompleks di antara perilaku-perilaku lain. Kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui rangsangan lingkungan. Anak hanya merupakan penerima pasif dari tekanan lingkungan. Anak tidak memiliki peran aktif dalam perilaku verbalnya. Perkembangan bahasa ditentukan oleh lamanya latihan yang disodorkan lingkungannya. Anak dapat menguasai bahasanya melalui peniruan. Belajar bahasa dialami anak melalui prinsip pertalian stimulus respon.
Perkembangan bahasa anak adalah suatu kemajuan yang sebarang hingga mencapai kesempurnaan. Pandangan kognitif diwakili oleh Jean Piaget dan berpendapat bahwa bahasa bukan ciri alamiah yang terpisah melainkan satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif. Lingkungan tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak. Yang penting adalah interaksi anak dengan lingkungannya. Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi dua cara, yaitu pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya. Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan,guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciri penting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan sistematis yang sengaja. Di dalam kelas ada saja buah yang dapat dianggap sangat penting dan mendasar dalam proses belajar bahasa, yaitu (1) belajar bahasa adalah orang, (2) belajar bahasa adalah orang-orang dalam interaksi dinamis, dan (3) belajar bahasa adalah: orang-orang dalam responsi.
Pemerolehan bahasa bersamaan dengan proses yang digunakan oleh anak-anak dalam pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa menuntut interaksi yang berarti dalam bahasa sasaran yang merupakan wadah para pembicara memperhatikan bukan bentuk ucapan-ucapan mereka tetapi pesan-pesan yang mereka sampaikan dan mereka pahami. Perbaikan kesalahan dan pengajaran kaidah- kaidah eksplisit tidaklah relevan bagi pemerolehan bahasa, tetapi para guru dan para penutur asli dapat mengubah serta membatasi ucapan-ucapan mereka kepada pemeroleh agar menolong mereka memahaminya. Modifikasi-modifikasi ini merupakan pikiran untuk membantu proses pemerolehan tersebut.

Apa arti Cinta Itu????....

http://bloggernyaferdyagus.blogspot.com/




Saya memang bukan seorang ahli cinta namun saya pernah merasakan jatuh cinta dan putus cinta. Saya pun seringkali mendengar beragam hal tentang cinta, entah itu kesedihan yang di derita karena cinta ataupun karena kegembiraan karena cinta. Intinya, cinta bisa menyajikan beragam cerita. Karenanya tidak berlebihan jika saya pribadi mengemukakan pendapat mengenai arti cinta ini. Bagi saya, cinta adalah fase dari kehidupan manusia yang bisa menimbulkan getaran dalam hati, yang bisa membuat hidup lebih bermakna dan yang paling penting adalah ada nilai-nilai kepekaan terhadap rasa sebagai dampak atas kehadiran atau kepergian cinta. Sekalipun menyakitkan, efek dari cinta senantiasa bisa membuat si pelakunya lebih bijak dalam menjalani hidup. Dan cinta pun jangan selalu dihubungkan dengan seks, sebab masih banyak para pelaku cinta yang memandang dan menjalankan cinta sebagai “CINTA” tanpa embel-embel seks. Meski ada pendapat umum yang mengatakan bahwa cinta tanpa seks adalah hambar. Tapi pendapat seperti itu tidak selamanya benar. Mungkin untuk mereka yang telah terikat dalam pernikahan sah-sah saja jika mengatakan hal seperti itu, namun untuk mereka yang belum ada ikatan pernikahan tentu saja tidak bisa dibenarkan. Meskipun pembenaran untuk setiap orang berbeda namun bagi saya hal itu tetaplah tidak ada pembenarannya. Bagaimana pun cinta bagi saya adalah hal yang sangat suci, yang sepertinya tidak layak untuk dinodai jika masanya belum datang. Artinya tidak ada alasan untuk mengatakan hal yang sah jika saat pacaran, karena alasan cinta mahkota kesucian (virgin) harus diberikan begitu saja. Saya kembali berpendapat bahwa jika pada saatnya tiba nanti semuanya akan terasa indah, tunggulah sampai cinta itu benar-benar terikat dalam ikrar suci (pernikahan), dan atas nama cinta dengan ketulusan doa semuanya bisa dilakukan.
Selanjutnya saya akan menguraikan beberapa pendapat dari para ahli mengenai arti cinta sebagaimana saya baca dari buku Cinta Yang Pintar Kawin Yang Pintar (M. Torsina, Cakrawala Cinta, 1996), antara lain adalah:

Victor Hugo, berpendapat, “cinta adalah penciutan alam jagad menjadi existensi tunggal dan pemekaran existensi tunggal mencapai Tuhan.”

Erich Segal, berpendapat, “cinta tidak perlu mengatakan Anda menyesal.”

Erich Fromm, berpendapat, “cinta yang matang adalah persatuan dalam keutuhan integritas dan individualitas. Dalam cinta ada dua hakekat menjadi satu, tetapi tetap berdua.”
Erich Fromm pun membagi cinta berdasarkan objeknya yaitu:
Cinta Ibu
Cinta persaudaraan
Cinta erotik
Cinta diri
Cinta Tuhan

Joan Terry Garity, berpendapat:
Cinta adalah kejadian di mana Anda terserang kanker payudara, harus menjalani mastectomy, tapi kekasih Anda tetap mengasihi Anda sebanyak seperti semula, dan tidak palsu saat mengucapkan “engkau tetap tercantik untukku.”
Cinta adalah gelombang perasaan raksasa yang menelan habis diri si pecinta. Saat gelombang mendekat mati, gairah hidup si pencinta itu pun akan mati pula.
Cinta adalah kemampuan untuk memaafkan yang tidak termaafkan, tertawa atas humor-humornya, sekalipun Anda telah mendengarnya yang kesekian kalinya, dan berkepentingan atas kebahagiaannya sebanyak yang Anda pentingkan untuk diri Anda.
Cinta adalah sebuah hasrat pasangan untuk dapat memberi Anda sebuah kapal pesiar dan hasrat Anda untuk dapat memberi si dia sebuah kapal terbang – dan ternyata Anda berdua masih puas dan berbahagia menerima sebuah sepeda, karena Anda berdua mampu menikmatinya bersama-sama.

Meneken, berpendapat, “cinta adalah tingkat kesan mati-rasa.”

John Alan Lee, membagi cinta dalam 6 gaya cinta, yaitu:

Eros, cinta akan kecantikan ideal (cinta yang memfokuskan diri pada kekuatan fisik semata).

Mania, cinta gila (cinta yang hadir dengan banyak tuntutan, cinta yang hadir bukan karena benar-benar dia mencintai pasangan yang dicintainya namun lebih karena dorongan yang hebat atas kebutuhannya untuk bercinta).

Pragma, cinta pragmatis (cinta yang memfokuskan pada keserasian dan kelogisan, cinta yang hadir tidak berdasarkan sexual tapi lebih kepada syarat-syarat sosial dan peribadi).

Agape, cinta tanggung jawab (cinta seperti ini melahirkan konsep tanggung jawab untuk memberikan perhatian pada orang lain tanpa memandang apakah orang lain itu mencintai atau membalas perhatian Anda. Inilah cinta tulus, memberi tanpa mengharap balasan, agape adalah bentuk cinta yang jauh dari urusan seks).

Cinta ludus, cinta hanyalah suatu permainan (penganut cinta seperti ini tak pernah menggantungkan diri pada pasangannya, tidak mau melibatkan diri terlalu dalam atas apa yang dialami pasangannya, mau menerima pasangannya namun dengan beragam syarat)

Cinta storage (cinta sebagai hubungan persahabatan, pelakunya memilih cinta sebagai aktivitas yang harus dia nikmati).

Robert Sternberg, membagi cinta berdasarkan komponen cinta yaitu nafsu birahi, intimitas (unsur emosional dalam cinta), dan komitmen. Ketiga unsur tersebut membentuk jenis cinta dalam hubungan antar pasangan, yaitu:> Cinta persahabatan. Cinta ini lahir karena perasaan sayang. Si pelaku sama-sama suka saling memperhatikan, betah berlama-lama ngobrol, saling membantu dan kelihatan hangat. Dalam hal ini hanya ada unsur intimitas tanpa ada gabungan nafsu birahi dan komitmen)
> Cinta karena pelampiasan. Hubungan seperti ini hanya melibatkan unsur nafsu birahi dan komitmen tanpa komponen intimitas.
> Cinta buta. Cinta ini jelas hanya mengandung komponen nafsu birahi tanpa adanya unsur intimitas dan komitmen.
> Cinta kebersamaan. Hubungan ini hanya mengandung komponen komitmen dan intimitas tanpa adanya komponen nafsu birahi (biasanya hadir pada hubungan pernikahan).
> Cinta romantis. Komponen nafsu birahi, dan intimitas jelas yang memberi pengaruh besar pada hubungan ini.
Cinta lengkap (semua 3 komponen cinta ada dalam hubungan ini)